Blog Resume

.: Selamat Datang di Blog kami :.

Blog ini berisi resume mata kuliah kami. silahkan ambil jika berguna dan ada manfaatnya, terima kasih
0

KONSEP DASAR WARGA NEGARA

A. KONSEP DASAR WARGA NEGARA

Konsep seperti didefinisikaan oleh Banks adalah suatu kata atau pernyataan yang bernuansa abstrak yang dapat digunakan untuk mengelompokkan benda, ide atau peristiwa.

Salah satu unsur yang ada dalam suatu Negara adalah penduduk atau rakyat. Penduduk merupakan semua orang yang pada suatu waktu mendiami wilayah Negara. Mereka secara sosiologis lazim dinamakan ‘rakyat’ dari Negara tersebut yaitu sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.

Menurut Soepomo,penduduk ialah orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu Negara.sah artinya tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat tinggal tetap dalam Negara yang bersangkutan. Selain penduduk dalam suatu wilayah Negara ada orang lain yang bukan penduduk misalnya seorang wisatawan yang berkunjung dalam suatu Negara. Rakyat atau penduduk yang mendiami suatu Negara ditinjau dari segi hukum terdiri dari warga Negara dan orang asing.

1. ORANG ASING

Orang asing adalah warga Negara asing yang bertempat tinggal pada suatu Negara tertentu. Dengan kata lain bahwa orang asing adalah semua orang-orang yang bertempat tinggal pada suatu Negara tertentu tetapi ia bukan warga Negara tersebut. Dalam hal orang asing ini hukum internasional ikut campur tangan artinya orang asing didalam suatu Negara itu dilindungi sekedarnya oleh hukum internasional.

Menurut undang-undang darurat RI yang termuat dalam Lembaran Negara 1955 Nomor 33 tentang kependudukan di Indonesia.orang asing yang menjadi penduduk Negara Indonesia adalah jika selama orang asing itu menetep di Indonesia. Untuk menetap di Indonesia orang asing itu harus mendapat ijin bertempat tinggal dari pemerintah di Indonesia.

2. WARGA NEGARA

Warga Negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur Negara.istilah ini dahulu disebut hamba atau kawula Negara.Tetapi kenyataannya istilah warga Negaralebih esuai dengan kedudukannya sebagai orang yang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawulah Negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu Negara yaitu peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama .

B. NILAI DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Nilai artinya harga atau kualitas sesuatu. Sesuatu dapat dipandang memiliki nilai bila memang ia secara intrinsik barharga dan membangkitkan timbulnya penghargaan terhadapnya, demikian menurut pandangan aksiologi –relasionisme (Daley:1965)

Nilai-nilai pancasila pada dasarnya merupakan kualitas kebaikan yang (seyogyanya/diharapkan) melekat dalam diri bangsa dan Negara Indonesia. Secara filosofis dan histories nilai-nilai itu dianggap telah ada dalam diri bangsa dan Negara Indonesia sebagai potensi yang harus ditumbuh kembangkan.

Nilai-nilai tersebut dapat dipandang sebagai “penguat keterpaduan” pada tingkat pribadi, masyarakat dan kebudayaan. Pada tingkat individu nilai berada pada latar psikis atau kejiwaan yang mencakup pikiran, perasaan dan perbuatan.

C. NORMA DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Norma adalah petunjuk hidup yang ada dalam masyarakat dan diharapkan dipatuhi oleh warganya yang diwujudkan dalam norma agama, norma hukum kesusilaan. Kesopanan dan kebiasaaan. Norma dipakai dalam ilmu hukum dan secara umum diartikan sebagai rambu rambu atau petunjuk hidup yang mengatur prilaku manusia dalam bermasyarakat. pada dasarnya norma disebut kaidah. Berisi rumusan verbal perintah dan larangan yakni apa yang seyogyanya dilakukan dan atau apa yang tidak boleh dilakukan. Norma ada beberapa macam yakni norma agama, norma hukum, norma kesusilaan, norma kesopanan dan kebiasaan.

Norma agama merujuk pada aturan keagamaan sedang norma hukum merujuk kepada aturan hukum positif ( yang berlaku pada saat dan ditempat tertentu).dilain pihak norma kesusilaan,kesopanan dan kebiasaan (adat) merujuk kepada aturan prilaku dalam masyarakat yang pada umumnya tidak tertulis tetapi dipatuhi. Pelanggaran atas norma melahirkan sanksi yang dikenakan kepada si pelaku sesuai norma yang dilanggarnya. Sanksi dari norma agama diberikan oleh Allah atau pangadilan agama, sanksi dan norma hukum kesusilaan, kesopanan dan kebiasaan datang dari manyarakat. Contoh norma agama adalah fiqih islam, norma hukum berupa undang-undang, sedang norma kesusilaan, norma kesopanan dan kebiasaan berupa tata krama.

D. MORAL DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Moral adalah tuntutan penampilan, kebaikan yang dimiliki individu sebagai moralita yang seyogyanya tercermin dalam penalaran, sikap dan prilaku,moral secara bebas diterjemahkan

sebagai prinsip “baik dan buruk” yang menuntun prilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. prinsip baik dan buruk yang ada dalam diri individu disebut moralita. Menurut Ouska dan Whellan (1977) semua moralita berada dalam siste aturan. Karena itu hakekat moralita harus dilihat atau dikaji dari cara individu menghayati dan melaksanakan aturan. Lebih juga ditegaskan bahwa moralita memiliki dimensi penalaran moral, sikap, moral dan prilaku moral atau menurut Lickona (1986) disebut moral “knowing”, moral “feeling” dan moral “action”.(pemahaman moral, perasaan moral, dan prilaku moral). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa moral adalah prinsip baik dan buruk sedang moralita adalah kualitas pertimbangan baik dan buruk yang dimiliki individu.



0

Sumpah dalam Al Qur'an

Latar Belakang

Sumpah atau al-qasam merupakan suatu hal atau kebiasaan bangsa Arab dalam berkomunikasi untuk menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an direkonstruksi bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena itu, al-Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa Arab, maka Allah juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan Kalam-­Nya.

Bahkan kebiasaan dalam hal bersumpah tersebut sudah ada sejak nilai doktrin Islam belum eksis tatanan bangsa Arab. Meskipun bangsa Arab dikenal dengan menyembah berhala (paganism) mereka tetap rnenggunakan kata Allah dalam sumpahnya, seperti disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 yang berbunyi:

Artinya:”Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran)”. (QS. Al-Fathiir 35: 42)

Atau dalam surat An-Nahl ayat 38 yang berbunyi:

Artinya:”Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl 16: 38).

Namun, konsep sumpah tersebut berbeda dengan kebiasan bangsa Indonesia, sumpah lebih mengacu kepada sebuah kesaksian atau menguatkan kebenaran sesuatu dalam forum resmi, seperti kesaksian saksi dalam pengadilan dan sumpah jabatan, dengan tekad menjalankan tugas dengan baik.

Dan bagaimana konsep, redaksi dan lafal sumpah dalam al-Qur’an yang banyak mewarnai ayat-ayat ?.

Pengertian, Redaksi Dan Lafal Sumpah

Kata sumpah berasal dari bahasa Arab اْلقَسَمُ (al-qasamu) yang bermakna اْليَمِينُ (al-yamiin) yaitu menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat sumpah) seperti و , ب dan huruf lainnya.

Aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Sighat yang asli bagi sumpah ialah uqsimu atau ahlifu, yang dita’diahkan dengan ba kepada muqsam bihi. Kemudian barulah disebut muqsam ‘alaihi, yang dinamakan jawab qasam,. Seperti firman Allah swt :

وأقسوا با لله جهد أيمانهم لا يبعث الله من يموت... (انحل:36)

“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah bahwa Allah tidak membangkitkan orang yang mati…” (QS. An-Nahl:38)

Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang untuk menguatkan sesuatu, maka kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ب-nya saja. Kemudian huruf ب diganti dengan huruf و, seperti firman Allah dalam surat Al-Lail ayat 1 yang berbunyi:

Artinya:”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail: 1)

Kadang-kadang sumpah juga menggunakan huruf-huruf ت, seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya’ ayat 57:

Artinya:”Demi Allah, Sesungguhnya Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”. (QS. Al-Anbiya’: 57)

Tapi, yang paling lazim digunakan atau dipakai dalam sumpah adalah huruf و.

Dan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, sumpah diartikan sebagai:

  1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya).
  2. Pernyataan yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar.
  3. Janji atau ikrar yang teguh ( akan menunaikan sesuatu).

Sedangkan menurut Louis Ma’luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu yang disucikan.

Akan tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang menyembah berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan sumpah dengan atas nama tuhannya dengan sebutan Allah, seperti dalam yang tersurat dalam al-Qur’an surat Al-Ankabuut ayat 61 yang berbunyi:

Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut: 61)

Dan selanjutnya, juga dalam surat Al-Ankabut ayat 63 dijelaskan bahwa:

Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al-Ankabut: 63)

Dhamir (kata ganti) هم dalam surat Al-Ankabut ayat 63 tersebut, seperti dikutip Toshihiko Izutsu berarti “the pagan Arabs”. Izutsu berpendapat ada lima konsep Allah menurut bangsa Arab pra-Islam seperti yang disebut oleh al-Qur’an yaitu:

  1. Allah adalah pencipta dunia;
  2. Allah adalah pencipta hujan, lebih umum lagi Dia-lah yang menciptakan kehidupan di permukaan bumi;
  3. Allah satu-satunya yang berhak disebut dalam sumpah;
  4. Allah adalah obyek monoteisme “sementara”;
  5. Allah adalah Tuhannya Kabah (Lord of Ka’bah).

Qasam dibagi menjadi dua yaitu:

Ø Zhahir, ialah sumpah yang didalamnya disebut Fi’il qasam dan muqsam bihi. Dan diantaranya ada yang dihilangkan Fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa “ba”, “wawu” dan “ta”. Dan ada juga yang didahului ‘la nafy” seperti:

لاأقسم بيوم القيمة (1) ولا اقسم با لنفس اللوا مة (2) [القيا مة 1-2]

“Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali , Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (Al-Qiyamah:1-2)

Ø Mudhmar, yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan Fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetepi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk dalam jawab qasam, seperti firman Allah:

لتبلون فى أموا لكم وأنفسكم (ال عمران:186)

“ Kamu sunguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” (Ali Imran:186).

Sedangkan huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat sumpah atau untuk membentuk lafal sumpah ada 3 macam yaitu:

1. Wawu (و )

Seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 23 yang berbunyi:

Artinya:”Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat: 23).

Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka ’amil (pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti dengan isim dlahir.

2. Ba’ ( ب )

Seperti dalam firman Allah dalam surat A-Qiyaamah ayat 1 yang berbunyi:

Artinya:”Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al-Qiyaamah: 1)

Maka dengan masuknya huruf Ba’ ini boleh disebutkan ’amil-nya sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad ayat 82 tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan manusia:

Artinya:”Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (QS. Shaad: 82).

Setelah huruf Ba’ boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah dicontohkan di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir.

3. Ta’ ( ت)

Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 56:

Artinya:”Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang Telah kami berikan kepada mereka. demi Allah, Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang Telah kamu ada-adakan”. (QS. An-Nahl: 56).

Dengan masuknya huruf Ta’ ini, ’amil (pelaku)-nya harus dihapuskan dan tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama Allah), yaitu الله atau ربّ.

Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh terdahulu. Dan kadang-kadang dihapus dengan ‘amil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Takaatsur ayat 8 yang berbunyi:

Artinya:”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS. At-Takaastur: 8)

Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) disebutkan. Seperti dalam firman Allah :

Artinya:”Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun : 7)

Dan kadang-kadang boleh dihapus, seperti dalam firman Allah ta’ala :

Artinya:”Qaaf, demi Al Quran yang sangat mulia”. (QS. Qaaf : 1).

Selain dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling fundamental adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah muncul. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4, yaitu:

  1. Muqsim (pelaku sumpah).
  2. Muqsam Bih (sesuatu yang dipakai sumpah).
  3. Adat Qasam (alat untuk bersumpah).
  4. MuqsamAlaih (berita yang dijadikan isi sumpah atau disebut juga dengan jawab sumpah).

Manfaat Sumpah Dalam Al-Qur’an

Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuati didalam jiwa. Dalam penurunan al-Qur;an ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah, guna menghilanhkan keraguan dan kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hokum dengan cara paling sempurna

Manna al-Quththan berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;

  1. Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
  2. Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka dinamakan thalaby.
  3. Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan inkary.

Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab.

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah:

  1. Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah).
  2. Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.

Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut :

  1. Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang penting.
  2. Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
  3. Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)

Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ’sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.

Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis.

Ada pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan as­Sayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam al­Qur’an yang ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-Sayuthi. berargumentasi bahwa al­Qur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi berpendapat al-qasam dalam al­-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan QS.1O:53.

Alasan yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca. Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse), yang mempengaruhi kepada pembaca.

Namun sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun, al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati. Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia yang ‘diajak bicara’.

Kesimpulan

Al-qasam (sumpah) merupakan kebiasaan bangsa Arab untuk. menyakinkan lawan bicaranya (mukhatab). Semenjak dari pra Islam, masyarakat Arab sudah akrab memakai qasam untuk menegaskan bahwa yang dikatakannya itu benar. Setelah Islam datang, sumpah boleh dilakukan hanya dengan nama Allah. Kalau melanggar bisa terkena sanksi teologis dengan ‘vonis’ syirk, menyekutukan Tuhan. Berbeda dengan al-Qur’an, Allah secara absolut menggunakan sumpah tersebut. Dia biasanya bersumpah dengan dua cara yaitu dengan menyebut diri-­Nya yang Maha Agung atau dengan menyebut ciptaan-Nya. Sisanya bersumpah dengan nama makhluk-Nya. Maksud menyebutkan ciptaan-Nya itu untuk menyebutkan keutamaan . (fadlilah) dan manfaat bagi kesejahteraan manusia.

http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/konsep-sumpah-dalam-al-quran-pengertian-redaksi-dan-manfaat/

http://luthfi-damanhuri.blogspot.com/2009/05/amsal-aqsam-jadal-dalam-al-quran.html

Back to Top