Blog Resume

.: Selamat Datang di Blog kami :.

Blog ini berisi resume mata kuliah kami. silahkan ambil jika berguna dan ada manfaatnya, terima kasih
0

Sumpah dalam Al Qur'an

Latar Belakang

Sumpah atau al-qasam merupakan suatu hal atau kebiasaan bangsa Arab dalam berkomunikasi untuk menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an direkonstruksi bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena itu, al-Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa Arab, maka Allah juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan Kalam-­Nya.

Bahkan kebiasaan dalam hal bersumpah tersebut sudah ada sejak nilai doktrin Islam belum eksis tatanan bangsa Arab. Meskipun bangsa Arab dikenal dengan menyembah berhala (paganism) mereka tetap rnenggunakan kata Allah dalam sumpahnya, seperti disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 yang berbunyi:

Artinya:”Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran)”. (QS. Al-Fathiir 35: 42)

Atau dalam surat An-Nahl ayat 38 yang berbunyi:

Artinya:”Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl 16: 38).

Namun, konsep sumpah tersebut berbeda dengan kebiasan bangsa Indonesia, sumpah lebih mengacu kepada sebuah kesaksian atau menguatkan kebenaran sesuatu dalam forum resmi, seperti kesaksian saksi dalam pengadilan dan sumpah jabatan, dengan tekad menjalankan tugas dengan baik.

Dan bagaimana konsep, redaksi dan lafal sumpah dalam al-Qur’an yang banyak mewarnai ayat-ayat ?.

Pengertian, Redaksi Dan Lafal Sumpah

Kata sumpah berasal dari bahasa Arab اْلقَسَمُ (al-qasamu) yang bermakna اْليَمِينُ (al-yamiin) yaitu menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat sumpah) seperti و , ب dan huruf lainnya.

Aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Sighat yang asli bagi sumpah ialah uqsimu atau ahlifu, yang dita’diahkan dengan ba kepada muqsam bihi. Kemudian barulah disebut muqsam ‘alaihi, yang dinamakan jawab qasam,. Seperti firman Allah swt :

وأقسوا با لله جهد أيمانهم لا يبعث الله من يموت... (انحل:36)

“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah bahwa Allah tidak membangkitkan orang yang mati…” (QS. An-Nahl:38)

Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang untuk menguatkan sesuatu, maka kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ب-nya saja. Kemudian huruf ب diganti dengan huruf و, seperti firman Allah dalam surat Al-Lail ayat 1 yang berbunyi:

Artinya:”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail: 1)

Kadang-kadang sumpah juga menggunakan huruf-huruf ت, seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya’ ayat 57:

Artinya:”Demi Allah, Sesungguhnya Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”. (QS. Al-Anbiya’: 57)

Tapi, yang paling lazim digunakan atau dipakai dalam sumpah adalah huruf و.

Dan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, sumpah diartikan sebagai:

  1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya).
  2. Pernyataan yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar.
  3. Janji atau ikrar yang teguh ( akan menunaikan sesuatu).

Sedangkan menurut Louis Ma’luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu yang disucikan.

Akan tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang menyembah berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan sumpah dengan atas nama tuhannya dengan sebutan Allah, seperti dalam yang tersurat dalam al-Qur’an surat Al-Ankabuut ayat 61 yang berbunyi:

Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut: 61)

Dan selanjutnya, juga dalam surat Al-Ankabut ayat 63 dijelaskan bahwa:

Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al-Ankabut: 63)

Dhamir (kata ganti) هم dalam surat Al-Ankabut ayat 63 tersebut, seperti dikutip Toshihiko Izutsu berarti “the pagan Arabs”. Izutsu berpendapat ada lima konsep Allah menurut bangsa Arab pra-Islam seperti yang disebut oleh al-Qur’an yaitu:

  1. Allah adalah pencipta dunia;
  2. Allah adalah pencipta hujan, lebih umum lagi Dia-lah yang menciptakan kehidupan di permukaan bumi;
  3. Allah satu-satunya yang berhak disebut dalam sumpah;
  4. Allah adalah obyek monoteisme “sementara”;
  5. Allah adalah Tuhannya Kabah (Lord of Ka’bah).

Qasam dibagi menjadi dua yaitu:

Ø Zhahir, ialah sumpah yang didalamnya disebut Fi’il qasam dan muqsam bihi. Dan diantaranya ada yang dihilangkan Fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa “ba”, “wawu” dan “ta”. Dan ada juga yang didahului ‘la nafy” seperti:

لاأقسم بيوم القيمة (1) ولا اقسم با لنفس اللوا مة (2) [القيا مة 1-2]

“Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali , Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (Al-Qiyamah:1-2)

Ø Mudhmar, yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan Fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetepi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk dalam jawab qasam, seperti firman Allah:

لتبلون فى أموا لكم وأنفسكم (ال عمران:186)

“ Kamu sunguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” (Ali Imran:186).

Sedangkan huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat sumpah atau untuk membentuk lafal sumpah ada 3 macam yaitu:

1. Wawu (و )

Seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 23 yang berbunyi:

Artinya:”Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat: 23).

Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka ’amil (pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti dengan isim dlahir.

2. Ba’ ( ب )

Seperti dalam firman Allah dalam surat A-Qiyaamah ayat 1 yang berbunyi:

Artinya:”Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al-Qiyaamah: 1)

Maka dengan masuknya huruf Ba’ ini boleh disebutkan ’amil-nya sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad ayat 82 tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan manusia:

Artinya:”Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (QS. Shaad: 82).

Setelah huruf Ba’ boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah dicontohkan di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir.

3. Ta’ ( ت)

Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 56:

Artinya:”Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang Telah kami berikan kepada mereka. demi Allah, Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang Telah kamu ada-adakan”. (QS. An-Nahl: 56).

Dengan masuknya huruf Ta’ ini, ’amil (pelaku)-nya harus dihapuskan dan tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama Allah), yaitu الله atau ربّ.

Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh terdahulu. Dan kadang-kadang dihapus dengan ‘amil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Takaatsur ayat 8 yang berbunyi:

Artinya:”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS. At-Takaastur: 8)

Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) disebutkan. Seperti dalam firman Allah :

Artinya:”Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun : 7)

Dan kadang-kadang boleh dihapus, seperti dalam firman Allah ta’ala :

Artinya:”Qaaf, demi Al Quran yang sangat mulia”. (QS. Qaaf : 1).

Selain dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling fundamental adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah muncul. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4, yaitu:

  1. Muqsim (pelaku sumpah).
  2. Muqsam Bih (sesuatu yang dipakai sumpah).
  3. Adat Qasam (alat untuk bersumpah).
  4. MuqsamAlaih (berita yang dijadikan isi sumpah atau disebut juga dengan jawab sumpah).

Manfaat Sumpah Dalam Al-Qur’an

Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuati didalam jiwa. Dalam penurunan al-Qur;an ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah, guna menghilanhkan keraguan dan kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hokum dengan cara paling sempurna

Manna al-Quththan berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;

  1. Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
  2. Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka dinamakan thalaby.
  3. Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan inkary.

Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab.

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah:

  1. Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah).
  2. Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.

Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut :

  1. Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang penting.
  2. Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
  3. Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)

Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ’sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.

Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis.

Ada pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan as­Sayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam al­Qur’an yang ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-Sayuthi. berargumentasi bahwa al­Qur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi berpendapat al-qasam dalam al­-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan QS.1O:53.

Alasan yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca. Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse), yang mempengaruhi kepada pembaca.

Namun sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun, al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati. Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia yang ‘diajak bicara’.

Kesimpulan

Al-qasam (sumpah) merupakan kebiasaan bangsa Arab untuk. menyakinkan lawan bicaranya (mukhatab). Semenjak dari pra Islam, masyarakat Arab sudah akrab memakai qasam untuk menegaskan bahwa yang dikatakannya itu benar. Setelah Islam datang, sumpah boleh dilakukan hanya dengan nama Allah. Kalau melanggar bisa terkena sanksi teologis dengan ‘vonis’ syirk, menyekutukan Tuhan. Berbeda dengan al-Qur’an, Allah secara absolut menggunakan sumpah tersebut. Dia biasanya bersumpah dengan dua cara yaitu dengan menyebut diri-­Nya yang Maha Agung atau dengan menyebut ciptaan-Nya. Sisanya bersumpah dengan nama makhluk-Nya. Maksud menyebutkan ciptaan-Nya itu untuk menyebutkan keutamaan . (fadlilah) dan manfaat bagi kesejahteraan manusia.

http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/konsep-sumpah-dalam-al-quran-pengertian-redaksi-dan-manfaat/

http://luthfi-damanhuri.blogspot.com/2009/05/amsal-aqsam-jadal-dalam-al-quran.html

0

Al Razi - Filsafat Islam

A. Sejarah Lahir dan Karyanya.

Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogge, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M / 865 M.

Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Razi yakni Abu Hatim Al-Razi, Fakhrudin Al-Razi, dan Najmudin Al-Razi, oleh karena itu untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar yang merupakan nama Kun-Yah-nya (gelarnya).[1]

Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi. Kemudian ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.

Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya. Karena itu ia sering memberikan pengobatan Cuma-Cuma kepada orang miskin. Namun ungkapan Abdul. Latif Muhammad Al-‘Abd terlalu berlebihan yang mengatakan bahwa Al-Razi tidak memiliki harta sampai ia meninggal dunia. Kenyataan ia sering pulang pergi antara Baghdad dan Rayy. Hal ini menunjukkan bahwa ia masih mempunyai uang. [2]

Disipliln ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai seorang filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi ia menolak untuk diobati dan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi akan meninggal.

Sebagai orang yang terkenal pada dasarnya, Ia mempunyi banyak murid yang belajar kepadanya. Metode penyampaian pemikirannya adalah bersistem pengembangan daya intekektual. Apabila ada seorang murid yang bertanya maka pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan dilemparkan kembali kepada murid- murid lainnya yang terbagi beberapa kelompok .

Apabila kelompok pertama tidak bisa memecahkannya maka pertanyaan itu dilemparkan kepada kelompok kedua dan begitu seterusnya. Sehingga apabila tidak ada yang sanggup, Maka Al-Razi sendiri yang menjawabnya. Diantara muridnya yang cerdas adalah Abu bakar Ibnu Qorin Al-Razi yang kemudian menjadi seorang dokter. Al-Razi jika bersama murid-muridnya atau pasiennya, ia selalu menggunakan waktunya untuk menulis dan belajar. Kemungkinan hal itu sebagai salah satu indikasi dari kebutaan matanya. [3]

Al-Razi seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asrar yang diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard Fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar ialah Al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran,diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama dikalangan kedokteran Eropa sampai abad 17 M.[4] Bukunya dibidang kedokteran juga ialah Al-Mansuri Liber Al Mansoris 10 jilid disalin kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab Al-Judar Wa Al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahannya diterjemahkan orang kedalam berbagai bahasa barat dan terakhir kedalam bahasa inggris pada tahun 1847 M. Dan dianggap buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian buku-bukunya yang lain ialah Al-thibb al-Ruhani, al-sirah al-falsafiah, dan lainnya. Sebagian karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat yang yang banyak dikutip dalam buku ini.

  1. Filsafat Al- Razi

1. Lima Kekal / Qodim

Al-Razi adalah seorang rasionalis murni, hal itu tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thibb al-Ruhani, ia menulis : “ Tuhan, segala puji bagi-Nya yang telah memberi akal agar dengan-Nya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya. Sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya. Sebab ia adalah pengendali atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalahnya: kita harus sesuai dengan perintahnya.[5]

Filsafat Al-razi terkenal dengan ajarannya lima yang kekal, yakni al-Bari T’ala (Allah Ta’ala) al-Nafs al-Kulliyyat (jiwa universal), al-Hayuli al-Ula (Materi pertama), al-makan al-Muthlaq (tempat/ruang absolut), dan al-Zaman al-Muthlaq (masa absolut).[6]

Allah adalah Maha Pencipta Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada , tetapi dari sesuatu yang telah ada karena itu, alam semestinya tidak kekal, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.

Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi memajukan dua argumen. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan pencipta materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidak mungkinan pencipta dari Creatio ex nihilo. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali. Bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal.[7]

Sebagaimana ruang, waktu atau zaman juga dibedakan Al-razi antara waktu muthlak (tak terbit) dan bersifat waktu mahshur (terbatas) untuk yang pertama ia disebut dengan al-dahr, kadim dan substani yang bergerak atau mengalir ( jauhar yajri ). Sementara itu, waktu mahshur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang dan mentari. Waktu terbatas ini tidak kekal, yang ia sebut dengan al-Wagt.

Dengan demikian, waktu mutlak atau absolut, menurut al-razi sudah ada sebelum adanya waktu terbatas ini yang terkait dengan gerakan bola bumi.

2. Akal Kenabian dan wahyunya

Harus diakui bahwa akal merupakan substansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini, menurut Al-razi bersumber langsung dari allah, sebagai utusan-utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.

Al-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah, oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.

Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-razi tersebut, yakni

a. tidak poercaya pada wahyu

b. Al-qur’an bukan mukjizat

c. tidak percaya pada nabi-nabi

d. adanya hal-hal yang kekal selain dari Allah.

Alasan-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut ;

a. Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiaknya, kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi?

b. Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang. Sebab setiap orang lahir dengan kecerdasan yang sama perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembanagan dan pendidikan (eksperimen).

c. Para nabi saling bertentangan, apabila mereka berbicara atas nama satu Tuhan mengapa implementasi mereka terhadap pertentangan? Setelah menolak kenabian kemudian Al-Razi mengkritik agama secara umum.: Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum Yahudi Kristen ataupun Majusi. Pengikatanmanusia terhadap agama adalh karena meniru dan kebiasaan, kekuasaan ulama yang mengabdi Negara dan manifestasilahiriah agam, upacara-upacara dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan Naif.

Berakaitan dengan sanggahan terhadap wahyu dan Nabi sebagai pembawa berita eskatologis (alam keakhiratan), seperti kematian. Bagi Al-Razi, kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti, karean bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatupun terjadi pada manusia, karena ia tidak merasakan apa-apa lagi. Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit selamanya. Sebaiknya orang yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati, karena bila ia mempercayai kehidupan lain maka, ia tentu gembira, sebab melalui mati ia pergi kedunia lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa tiada sesuatupun setelah mati, maka ia tidak perlu cemas. Betapapun orang yang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.[8]

Ditegaskan buku Harun Nasution yang berjudul Falsafah dan Misticisme dalam islam memuat ketidak percayaan Al-Razi kepada kenabian, agama, dan wahyu. Namun, setelah ia membaca buku-buku karya Al-Razi seperti al-thibb al-Ruhani dan yang lainnya penulis sodorkan saat itu (1989) ia berpesan bila saudara yang menulis Al-Razi, maka tulislah sebagai buku-buku ini, sedangkan saya (Harun Nasution) menulis seperti dalam buku diatas karena saya belum menemukan sumber-sumber seperti ini. Realisasi dari pesan Harun Nasution tentang Al-razi ini dapat penulis saksikan sendiri selama penulis membantunya ( asistennya) dalam mata kuliah pemikiran dalam islam di pasca sarjana IAIN Imam Bonjol Padang sejak tahun 1994 sampai ia wafat Jum’at 18 September 1998,



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007, hal 113

[2] Ibid, hal 114

[3] Ibid, hal 116

[4] Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalm Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 1993, hal 243

[5] Ibid, hal 246

[6] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999, hal 26

[7] Nasution, Falsafat dan Misticisme, hal 18

[8] Mustofah, Filsafat Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hal, 124

Back to Top