Perkataan akhlak dari bahasa arab, jamak dari khuluk, secara lugowi diartikan tingkah laku untuk kepribadian. Akhlak diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Untuk mendapatkan definisi yang jelas di bawah ini penulis akan kemukakan beberapa pendapat para ahli diantaranya:
- Imam Al-Ghazali menyebut akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa . Daripada jiwa itu ,timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran.
- Prof. Dr. Ahmad Amin mendefinasikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan . Maksudnya, sesuatu yang mencirikan akhlak itu ialah kehendak yang dibiasakan. Ertinya, kehendak itu apabila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak. Ahmad Amin menjelaskan erti kehendak itu ialah ketentuan daripada beberapa keinginan manusia. Manakala kebiasaan pula ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukanya. Daripada kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan ke arah menimbulkan apa yang disebut sebagai akhlak.
- Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa didahului oleh daya pemikiran kerana sudah menjadi kebiasaan.
Ciri Perbuatan Akhlak:
1. Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3. Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4. Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5. Dilakukan dengan ikhlas.
II. HUBUNGAN AKHLAK DENGAN TASAWUF:
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertikal antara manusia dengan Tuhannya (Allah). Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
III. PEMBAGIAN AKHLAQ
Akhlak terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Akhlak Hasanah / jamilah / mahmudah /karimah.
Yaitu akhlak yang terpuji, seperti pemaaf, penyantun, dermawan, sabar, rohmah (kasih sayang), lemah lembut dan lainnya.
2) Akhlak Sayyi'ah / qobihah / madzmumah.Yaitu akhlak yang tercela, yang merupakan lawan dari akhlak yang terpuji seperti: pendendam, kikir, berkeluh kesah, keras hati, pemarah dan lainnya.
IV. PENGERTIAN TASAWUF:
I. Secara bahasa tasawuf berarti:
• saf (baris), sufi (suci), sophos (Yunani: hikmah), suf (kain wol)
• sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan bersikap bijaksana.
II. Menurut Istilah:
• Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt.
• Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.III. Menurut para ahli tasawuf diartikan sebagai berikut :
- Zakaria Al-Anshori : “Tasawuf ialah suatu ilmu yang menjelaskan hal ihwal Pembersih
- jiwa dan penyantun akhlak baik lahir atau batin, guna menjauhi bid’ah dan tidak meringankan ibadah.
- Abul Qasim al-Qashairi ( W. 456H/1072M ) : “Tashawwuf adalah menerapkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara tepat berusaha menekan hawa nafsu, menjauhi bid’ah dan tidak meringankan ibadah.
- Bisyr bin Haris al-Hafi ( W. 227H/841M ) : “Seorang sufi ialah yang telah bersih hatinya, semata-mata untuk Allah SWT”.
- ABU Husain An-Nuri ( W. 295H/908M ) : “Kaum sufi itu ialah kaum yang hatinya suci dari kotoran basariyah ( hawa nafsu kemanusiaan ) dan kesalahan pribadi. Ia harus mampu membebaskkan diri dari syahwat sehingga ia berada pada shaf pertama dan mencapai derajat yang mulia dalam kebenaran”.
- Harun Nasution dalam bukunya falsafat dan Mistisme dalam islam menjelaskan bahwa, “tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam bisa sedekat mungkin dengan tuhan”.
V. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF
Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana dalam kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan-Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.
Akan tetapi banyak para ahli sejarahmemulai Sejarah tasawuf dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.
Ucapan – ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far.
Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far.
Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”. Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll).
Praktik – praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas.
VI. MAQOMAT DAN HAL
Istilah Maqam (jamak: maqamat), sebagaimana juga ahwal, dipahami secara berbeda-beda oleh para sufi sendiri. Meskipun demikian, kesemuanya sepakat memahami maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), dan latihan-latihan keruhanian budi-pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk menjalankan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya), demi mencapai kesempurnaan.
Sedangkan hal (jamak: ahwal) adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan (sebagai hak prerogatif) Allah dalam hati manusia, tanpa sang sufi mampu menolak keadaan itu apabila datang, atau memperhatikannya apabila pergi.
Al-Kalabadzi menyebutkan adanya 10 maqam (stasiun) yang (harus) dilalui oleh para pejalan spiritual sebagai berikut: al-taubah (tobat), al-zuhd (zuhud), al-shabr (sabar), al-faqr (kemiskinan), al-tawadhu’ (kerendahan hati), al-taqwa (takwa), al-tawakkal (tawakal), al-ridha (rela), al-mahabbah (cinta) dan al-ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu).
Al- Ghazali, meski mempertahankan urut-urutan di atas, menyebutkan lebih sedikit stasiun sebagai berikut: al-taubah, al-shabr, al-faqr, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridha.Ahli yang lain, terkadang menambahkan stasiun yang lain dalam urutan maqamat, seperti al-wara’ (kehati-hatian, untuk tak melanggar perintah Allah), dan sebagainya. Meski demikian, apa yang disebutkan Al-Kalabdzi dan Al-Ghazali di atas kiranya cukup mewakili pemahaman umum para sufi tentang maqamat ini.
Berikut diantara macam-macam maqamat :1. Zuhud
Zuhud (penyangkalan) dari semua kekayaan dunia ini. Ia hanya memiliki jubah bertambal sulam terbuat dari robekan-robekan kain muslim atau pakaian kain kasar, tikar sholat dan tali tasbih. Jubahnya itu beribu kali lebih karib baginya dibanding kain halus pakaian serba mewah dan cantik.
2. TaubatSemua orang bertaubat karena melakukan pekerjaan yang terlarang (haram) dan karena makan makanan haram supaya jangan tersiksa oleh hukum. Si Sufi bertaubat walaupun melakukan pekerjaan halal dan karena makan makanan yang halal [andainya] supaya tidak tergoda oleh yang terlarang dan meragukan (subhah).dengan cara memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan di sertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut.
3. Wara'Rendah diri. Seorang sufi tidak makan makanan apa pun, tidak memakai kain apa pun {tidak memilih-milih}. Ia tidak ikut berkumpul dalam pergaulan sembarangan orang dan ia tidak memilih persahabatan dengan siapa pun kecuali Tuhan, maka terpujilah ia di sisi Tuhan.Wara' adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram(syubhat).
4. KefakiranFakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang menjadi hak kita,tidak meminta rizki dan kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban.
5. Sabar
Sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak allah. Jika bencana dua dunia menimpa si sufi maka mereka tak akan begitu mempedulikannya dan jika cinta penduduk bumi menyerbunya maka ia tidak berhenti berjalan di jalan kesabaran.
6. TawakalTawakal adalah menyerahkan diri seorang hamba kepada allah (Percaya dan yakin) Ia tidak menuntut sesuatu apapun dari makhluk Tuhan atau dari Tuhan. Ia memujaNya hanya demi Tuhan sendiri. Tak ada tanya jawab. sebagai hasilnya Tuhan Penguasa Alam memberi peluang kepadanya untuk mencapai sasaran keinginannya bilamana ia memerlukannya dan tak ada perhitungan untung rugi.
7. RidhaRidha adalah tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar alloh dan menerima apa adanya. Ridha (kepuasan). Jika ia dibiarkan tampa kain (oleh kehendak Tuhan) mereka berbahagia dan jika ia dibiarkan lapar ia bahagia. Ia tak pernah berada di rumah keinginan diri (nafsu).
Berkenaan dengan hal, Abu Nashir At-Thusi menyebutkan sembilan macam, sebagai berikut:
1. al-muraqabah (perasaan yang berada dalam posisi waspada / konsentrasi dan mengerti bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah),
2. al-qurb (perasaan kedekatan kepada Tuhan),
3. al-mahabbah (perasaan keteguhan dan mentapkan cinta kepada Allah),
4. al-khauf wa al-raja (perasaan harap-harap cemas terhadap Allah),
5. al-syauq (perasaan rindu yang sangat berharap bertemu dengan Allah),
6. al-uns (perasaan bersahabat atau sangat dekat dengan Allah),
7. al-thuma’ninah (perasaan tentram yang dapat mempengaruhinya),
8. al-musyahadah (perasaan menyaksikan Tuhan – dengan mata hati),
9. al-yaqin (perasaan yakin yang teguh dan sangat teguh kepada-Nya).
VII. MAHABBATULLAH
Adalah pijakan bagi segenap kemuliaan hal. Muhabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal. Ia sebagai anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. Ada dua: Mahabbah ‘am dan mahabbah khashsh.
VIII. MA’RIFATULLAH
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali1. asma’ (nama) Allah
2. sifat Allah dan
3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.
Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :
1. Sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,2. Ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
3. Pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
4. Sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
5. Berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
6. Membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.
Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW.
IX. FANA’ dan BAQO’
Secara harfiah fana’ berarti meninggal dan musnah, dalam kaitannya dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dalam proposisi fana’an artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan dari segi bahasa kata fana’ berasal dari bahasa Arab, yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang, atau hancur. Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain fana’ berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat berarti hilangnya sifat-sifat tercela.
Sedang baqa’ berasal dari kata baqiya dari segi bahasa berarti tetap, sedang menurut istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitannya dengan sufi, maka sebutan baq biasanya digunakan dengan proposisi baqa’bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama dengan sesuatu. Dalam kamus Al-Kautsar, baqa’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan sehingga yang tersisa hanyalah kecintaan kepada-Nya.
Dalam tasawuf fana’ dan baqa’ datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf, “apabila nampaklah nur kebaqa’an, maka fana’lah yang tiada dan baqa’lah yang kekal. Tasawuf ini adalah fana’ dari dirinya dan baqa’ dengan Tuhannya karena hati mereka bersama Allah.
Pencapaian Abu Yasid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan Allah. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yasid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan, ia bertanya “bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu” Tuhan menjawab, “tinggalkan diri (nafsu) mu dan kemarilah”. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pahan fana’ karena keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga sedang mengalami baqa’, al-Quraisyi menyatakan, “Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya, tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah, barang siapa yang hatinya zuhud dari kehidupan, maka ia sedang fana’ dan keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan ibadahnya”
Dengan demikian, sesuatu dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa’ (tinggal) ilmu dalam dirinya. Dengan demikian yang tinggal dalam dirinya sesuatu yang baik. Sesuatu yang hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lainnya akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul taqwa.
X. Al-ITTIHAD
Ittihad secara bahasa berasal dari kata ittihada-yattahidu yang berarti dua benda menjadi satu. Yang dalam istilah para sufi adalah satu tingkatan dalam tasawuf yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Tahapan ini merupakan tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Ada dua tingkat pertanyaan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan Tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan Tuhan. Yang disebut tingkat pertama. Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik yaitu kesadaran akan adanya maha Zat yang sangat berbeda. Kaum sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak yaitu bersatunya kebersatuan. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat. Dengan fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya.
2 komentar:
very usefull for my study tomorow :h
Thank you Moh. Hidayatullah BD
Posting Komentar